Senin, 22 Februari 2016

LGBT DAN PERKEMBANGAN GENDER ANAK

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ismia Unasiansari, M.Pd
(Pemerhati Pendidikan Anak Usia Dini dan Analis Pendidikan Khusus PAUD pada Direktorat PGTK PAUD Dikmas, Kemendikbud)

Menjadi orang tua pada masa kini sungguh memiliki tantangan yang berbeda. Tak jarang membuat hati harus berdegup kencang, deg-degan. Serbuan arus informasi begitu mengalir deras. Beragam informasi itu pada akhirnya membanjiri telinga, mata, hati, serta pikiran kita.

Baru-baru ini, santer terdengar betapa menggelikannya tuntutan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) agar tidak diperlakukan secara diskriminatif. Tuntutan itu dilayangkan kepada pemerintah dan masyarakat. Terlepas dari semua perdebatan mengenai LGBT di masyarakat, terdapat satu hal yang sering luput dari pembahasan.

Pembahasan itu tentang bagaimana masyarakat kita dapat tumbuh bersama individu-individu yang memiliki orientasi seksual berbeda. Mereka menamakan diri sebagai kaum LGBT. Sebagai orang tua, hal ini tentunya membuat kita harus mawas diri dan tertantang. Tentunya, kita harus lebih mengenali perkembangan anak-anak kita, bukan hanya secara kognitif, tapi juga secara seksual.

Sesungguhnya, manusia lahir ke dunia ini lengkap dengan alat reproduksi berupa alat kelamin pria atau wanita. Kondisi ini disebut given. Kita tidak bisa memilih ingin diberikan Lingga atau Yoni. Salah satu dari keduanya sudah "ditempelkan" pada tubuh kita masing-masing.

Berbeda dengan pertumbuhan fisik yang bertambah besar seiring bertambahnya usia anak, perkembangan segala atribut diri yang menempel pada jenis kelamin anak sangat tergantung dari pengaruh lingkungan dan pergaulan sosial yang dialami anak. Perkembangan segala atribut ini semestinya sesuai dengan jenis kelamin atau seks anak.

Sebagai contoh, anak perempuan tumbuh menjadi perempuan dengan segala atribut keperempuanannya. Demikian juga dengan seorang anak lelaki, semestinya sampai pada titik menjadi seorang pria dengan segala atribut kelelakiannya.

Seorang anak akan menempuh tahapan-tahapan dalam hidupnya untuk sampai ke titik di mana segala atribut yang menempel pada dirinya menggambarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Tahapan-tahapan tersebut disebut sebagai perkembangan gender anak (gender development).

Sebelum membahas tahap-tahap perkembangan gender pada anak, alangkah baik jika kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan gender. Gender dapat didefinisikan sebagai keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan.

Kemudian, memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui ciri-ciri maskulinitas dan feminitas. Umumnya, hal tersebut sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan.

Lebih singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu pembentukan sosial atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial. Bagi masyarakat awam, istilah gender sering ditukarartikan dengan seks (jenis kelamin). Padahal, dua kata itu mengacu pada bentuk yang berbeda.

Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis. Hal itu sudah melekat pada jenis kelamin tertentu. Sebagai contoh, laki-laki memiliki penis, skrotum, dan memproduksi sperma.

 Sedangkan, perempuan memiliki vagina, rahim, dan memproduksi sel telur. Properti biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (nature).

Sementara, konsep gender merujuk pada suatu sifat yang melekat pada laki-laki ataupun perempuan. Konsep ini dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, gagah. Sedangkan, perempuan itu lembut, berperasaan, dan keibuan.

Sifat-sifat tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Sebagai contoh, ada laki-laki yang lembut dan lebih peka. Demikian juga ada perempuan yang tidak lembut dan tahan banting. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke waktu dan bisa berbeda di masing-masing budaya.

Sebagai contoh, pada suatu kelompok adat istiadat atau suku, di suatu tempat, perempuan bisa menjadi ketua suku. Tapi, sekarang di tempat yang sama, laki-laki yang menjadi ketua suku. Sementara, di tempat lain dapat terjadi sebaliknya. Artinya, atribut-atribut tersebut dapat dipertukarkan dan dapat berubah seiring waktu. Hal ini dikenal dengan gender.

Konsep Gender Anak
Mari kita mulai dengan perkembangan konsep gender pada anak. Sebenarnya, sejak usia berapakah kita sudah dapat mengenali perkembangan gender pada anak? Pada usia 2 tahun, anak telah memasuki tahap gender identity.
Tahap ini seorang anak sudah memiliki kemampuan untuk melabeli jenis kelamin pada dirinya dan pada diri orang lain dengan tepat. Anak sudah bisa mengatakan bahwa ia perempuan atau ia laki-laki. Tidak hanya itu, ia juga sudah mulai bisa mengatakan bahwa orang lain adalah laki-laki atau perempuan.

Tahap selanjutnya dinamakan gender stability saat anak berusia 4 tahun. Pada masa ini, seorang anak telah dapat memahami bahwa ia akan tetap menjadi perempuan atau laki-laki sepanjang hidupnya. Demikian juga, orang lain akan tetap menjadi laki-laki atau perempuan sepanjang usianya.

Tahap krusial selanjutnya adalah gender constancy. Rentang waktunya akan berlangsung sejak anak usia 5 sampai 7 tahun. Tahap ini adalah tahap di mana semestinya anak sudah menerima sepenuhnya gender yang melekat pada dirinya. Ia juga memiliki pemikiran bahwa ia tidak dapat mengubah gendernya meskipun ia dapat mengubah penampilannya.

Sederhananya seperti ini. Untuk menjadi seorang perempuan yang dapat merasakan, berpenampilan, berjalan, berbicara, tersenyum, berpikir, dan merespons sebagai perempuan seperti saat ini.

Saya telah melampaui lebih dari 30 tahun pembentukan gender sebagai seorang perempuan. Perkembangan gender saya sudah dimulai sejak terlahir ke dunia ini. Saya melihat, mendengar, belajar, melakukan apa yang ibu saya contohkan kepada saya.

Semua informasi mengenai bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap, saya mendapatkannya dari ibu dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Lalu, beranjak remaja, saya memperoleh tambahan informasi dari lingkungan. Saya semakin kaya akan "segala sesuatu" tentang perempuan yang semakin memantapkan gender saya sebagai perempuan.

Jika seorang anak dapat melampaui tahap demi tahap gender perkembangan dirinya, ia akan dapat menerima diri dan perubahan dirinya dengan baik. Pada dirinya akan tumbuh seksualitas yang baik dan sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun, pada sebagian anak, dapat muncul pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus ia pertanyakan perihal seks dan seksualitasnya.

Sebagai contoh, pertanyaan seorang anak usia lima tahun tentang jenis kelaminnya. ''Kenapa aku jadi anak laki-laki? Kenapa aku tidak jadi anak perempuan?'' Pertanyaan sejenis jika diberikan jawaban dengan jelas dan terarah akan menimbulkan rasa puas di hati anak dan akan memberikan kelegaan dan berujung pada penerimaan yang baik terhadap kenyataan bahwa, ''Aku adalah seorang lelaki.''

Namun, jangan salah, terdapat kasus pada beberapa anak yang merasa dirinya "terperangkap" dalam tubuh yang salah. Perasaan "terperangkap" pada tubuh yang salah dicirikan dengan adanya rasa tidak nyaman dengan jenis kelamin sendiri.

Jika dibiarkan dan tidak ditangani dengan bijak, hal ini dapat mengacu pada kelainan identitas gender atau biasa disebut gender identity disorder (GID). Ujungnya, hal ini bisa menjadi transgender, sebagaimana yang tengah marak didengung-dengungkan akhir-akhir ini. 

Anak lelaki dengan GID, misalnya, bisa saja diidentifikasikan sebagai anak laki-laki, tapi ia merasa dirinya yang sebenarnya adalah perempuan dan bertingkah seperti anak perempuan. Kelainan ini berbeda dengan homoseksual yang terlihat lebih nyaman diidentifikasikan sesuai dengan jenis kelamin dan gendernya sebagai lelaki atau wanita.

Namun, kita tidak akan membahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis penyimpangan atau kelainan seksual. Kita akan fokus pada bagaimana agar anak dapat melewati tahap demi tahap dari perkembangan gendernya dengan baik. Orang tua memegang peranan penting pada tahap perkembangan gender putra-putrinya.

Masa krusial perkembangan gender seseorang adalah sejak lahir hingga usia 7 tahun. Pada masa ini, perlu diterapkan sebuah skema perkembangan gender yang jelas pada anak. Kita bertanggung jawab terhadap arah perkembangan gender anak kita. Mengapa? Karena, perkembangan gender anak pada awalnya terbentuk oleh konstruksi sosial di sekitar anak.

Perlu diingat, inisiasi konstruksi sosial dimulai dari unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki kewajiban memperkenalkan, mengarahkan, dan membantu memantapkan identitas gender anak (gender identity) dan mengantarkan anak sukses melewati tahap gender stability hingga tahap gender constancy.


Jangan terlewatkan juga, anak terlahir dengan jenis kelamin sebagai perempuan atau laki-laki hal itu merupakan bawaan biologis (nature). Sedangkan, atribut dan pembawaan yang menempel kepada seorang anak perempuan atau laki-laki tentang bagaimana ia bersikap .... ....

Untuk artikel selengkapnya silahkan kunjungi link di berikut ini  LGBT dan Perkembangan Gender Pada Anak 
Artikel saya di atas telah ditayangkan oleh Republika.co.id pada hari Jum'at, 19 Februari 2016, Selamat membaca, semoga bermanfaat untuk Ayah dan Bunda semua.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Cerita Anak Kita Blogger Template by Ipietoon Blogger Template