REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:
Ismia Unasiansari, M.Pd(
Pemerhati Pendidikan Anak Usia Dini dan Analis Pendidikan Khusus PAUD pada Direktorat PGTK PAUD Dikmas, Kemendikbud)
Menjadi orang tua pada masa kini sungguh memiliki tantangan yang berbeda. Tak jarang membuat hati harus berdegup kencang,
deg-degan.
Serbuan arus informasi begitu mengalir deras. Beragam informasi itu
pada akhirnya membanjiri telinga, mata, hati, serta pikiran kita.
Baru-baru ini, santer terdengar betapa menggelikannya tuntutan kaum lesbian,
gay,
biseksual, dan transgender (LGBT) agar tidak diperlakukan secara
diskriminatif. Tuntutan itu dilayangkan kepada pemerintah dan
masyarakat. Terlepas dari semua perdebatan mengenai LGBT di masyarakat,
terdapat satu hal yang sering luput dari pembahasan.
Pembahasan
itu tentang bagaimana masyarakat kita dapat tumbuh bersama
individu-individu yang memiliki orientasi seksual berbeda. Mereka
menamakan diri sebagai kaum LGBT. Sebagai orang tua, hal ini tentunya
membuat kita harus mawas diri dan tertantang. Tentunya, kita harus lebih
mengenali perkembangan anak-anak kita, bukan hanya secara kognitif,
tapi juga secara seksual.
Sesungguhnya, manusia lahir ke dunia
ini lengkap dengan alat reproduksi berupa alat kelamin pria atau wanita.
Kondisi ini disebut
given. Kita tidak bisa memilih ingin
diberikan Lingga atau Yoni. Salah satu dari keduanya sudah "ditempelkan"
pada tubuh kita masing-masing.
Berbeda dengan pertumbuhan fisik
yang bertambah besar seiring bertambahnya usia anak, perkembangan
segala atribut diri yang menempel pada jenis kelamin anak sangat
tergantung dari pengaruh lingkungan dan pergaulan sosial yang dialami
anak. Perkembangan segala atribut ini semestinya sesuai dengan jenis
kelamin atau seks anak.
Sebagai contoh, anak perempuan tumbuh menjadi perempuan dengan segala
atribut keperempuanannya. Demikian juga dengan seorang anak lelaki,
semestinya sampai pada titik menjadi seorang pria dengan segala atribut
kelelakiannya.
Seorang anak akan menempuh tahapan-tahapan dalam
hidupnya untuk sampai ke titik di mana segala atribut yang menempel pada
dirinya menggambarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Tahapan-tahapan
tersebut disebut sebagai perkembangan gender anak (
gender development).
Sebelum
membahas tahap-tahap perkembangan gender pada anak, alangkah baik jika
kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan gender. Gender
dapat didefinisikan sebagai keadaan di mana individu yang lahir secara
biologis sebagai laki-laki dan perempuan.
Kemudian, memperoleh
pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui ciri-ciri
maskulinitas dan feminitas. Umumnya, hal tersebut sering didukung oleh
nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan.
Lebih
singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu pembentukan sosial
atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial. Bagi masyarakat awam,
istilah gender sering ditukarartikan dengan seks (jenis kelamin).
Padahal, dua kata itu mengacu pada bentuk yang berbeda.
Seks
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis. Hal itu sudah melekat pada jenis kelamin
tertentu. Sebagai contoh, laki-laki memiliki penis, skrotum, dan
memproduksi sperma.
Sedangkan, perempuan memiliki vagina, rahim, dan memproduksi sel telur.
Properti biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering
dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan (
nature).
Sementara,
konsep gender merujuk pada suatu sifat yang melekat pada laki-laki
ataupun perempuan. Konsep ini dikonstruksikan secara sosial maupun
kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, gagah. Sedangkan,
perempuan itu lembut, berperasaan, dan keibuan.
Sifat-sifat
tersebut sebenarnya bisa dipertukarkan. Sebagai contoh, ada laki-laki
yang lembut dan lebih peka. Demikian juga ada perempuan yang tidak
lembut dan tahan banting. Perubahan ini dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan bisa berbeda di masing-masing budaya.
Sebagai contoh,
pada suatu kelompok adat istiadat atau suku, di suatu tempat, perempuan
bisa menjadi ketua suku. Tapi, sekarang di tempat yang sama, laki-laki
yang menjadi ketua suku. Sementara, di tempat lain dapat terjadi
sebaliknya. Artinya, atribut-atribut tersebut dapat dipertukarkan dan
dapat berubah seiring waktu. Hal ini dikenal dengan gender.
Konsep Gender AnakMari
kita mulai dengan perkembangan konsep gender pada anak. Sebenarnya,
sejak usia berapakah kita sudah dapat mengenali perkembangan gender pada
anak? Pada usia 2 tahun, anak telah memasuki tahap
gender identity.
Tahap
ini seorang anak sudah memiliki kemampuan untuk melabeli jenis kelamin
pada dirinya dan pada diri orang lain dengan tepat. Anak sudah bisa
mengatakan bahwa ia perempuan atau ia laki-laki. Tidak hanya itu, ia
juga sudah mulai bisa mengatakan bahwa orang lain adalah laki-laki atau
perempuan.
Tahap selanjutnya dinamakan
gender stability saat anak berusia 4
tahun. Pada masa ini, seorang anak telah dapat memahami bahwa ia akan
tetap menjadi perempuan atau laki-laki sepanjang hidupnya. Demikian
juga, orang lain akan tetap menjadi laki-laki atau perempuan sepanjang
usianya.
Tahap krusial selanjutnya adalah
gender constancy.
Rentang waktunya akan berlangsung sejak anak usia 5 sampai 7 tahun.
Tahap ini adalah tahap di mana semestinya anak sudah menerima sepenuhnya
gender yang melekat pada dirinya. Ia juga memiliki pemikiran bahwa ia
tidak dapat mengubah gendernya meskipun ia dapat mengubah penampilannya.
Sederhananya seperti ini. Untuk menjadi seorang perempuan yang
dapat merasakan, berpenampilan, berjalan, berbicara, tersenyum,
berpikir, dan merespons sebagai perempuan seperti saat ini.
Saya
telah melampaui lebih dari 30 tahun pembentukan gender sebagai seorang
perempuan. Perkembangan gender saya sudah dimulai sejak terlahir ke
dunia ini. Saya melihat, mendengar, belajar, melakukan apa yang ibu saya
contohkan kepada saya.
Semua informasi mengenai bagaimana
seharusnya seorang perempuan bersikap, saya mendapatkannya dari ibu dan
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan. Lalu, beranjak remaja, saya
memperoleh tambahan informasi dari lingkungan. Saya semakin kaya akan
"segala sesuatu" tentang perempuan yang semakin memantapkan gender saya
sebagai perempuan.
Jika seorang anak dapat melampaui tahap demi
tahap gender perkembangan dirinya, ia akan dapat menerima diri dan
perubahan dirinya dengan baik. Pada dirinya akan tumbuh seksualitas yang
baik dan sesuai dengan jenis kelaminnya. Namun, pada sebagian anak,
dapat muncul pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus ia pertanyakan
perihal seks dan seksualitasnya.
Sebagai contoh, pertanyaan seorang anak usia lima tahun tentang jenis
kelaminnya. ''Kenapa aku jadi anak laki-laki? Kenapa aku tidak jadi anak
perempuan?'' Pertanyaan sejenis jika diberikan jawaban dengan jelas dan
terarah akan menimbulkan rasa puas di hati anak dan akan memberikan
kelegaan dan berujung pada penerimaan yang baik terhadap kenyataan
bahwa, ''Aku adalah seorang lelaki.''
Namun, jangan salah,
terdapat kasus pada beberapa anak yang merasa dirinya "terperangkap"
dalam tubuh yang salah. Perasaan "terperangkap" pada tubuh yang salah
dicirikan dengan adanya rasa tidak nyaman dengan jenis kelamin sendiri.
Jika dibiarkan dan tidak ditangani dengan bijak, hal ini dapat mengacu pada kelainan identitas gender atau biasa disebut
gender identity disorder (GID). Ujungnya, hal ini bisa menjadi transgender, sebagaimana yang tengah marak didengung-dengungkan akhir-akhir ini.
Anak
lelaki dengan GID, misalnya, bisa saja diidentifikasikan sebagai anak
laki-laki, tapi ia merasa dirinya yang sebenarnya adalah perempuan dan
bertingkah seperti anak perempuan. Kelainan ini berbeda dengan
homoseksual yang terlihat lebih nyaman diidentifikasikan sesuai dengan
jenis kelamin dan gendernya sebagai lelaki atau wanita.
Namun,
kita tidak akan membahas lebih lanjut mengenai jenis-jenis penyimpangan
atau kelainan seksual. Kita akan fokus pada bagaimana agar anak dapat
melewati tahap demi tahap dari perkembangan gendernya dengan baik. Orang
tua memegang peranan penting pada tahap perkembangan gender
putra-putrinya.
Masa krusial perkembangan gender seseorang
adalah sejak lahir hingga usia 7 tahun. Pada masa ini, perlu diterapkan
sebuah skema perkembangan gender yang jelas pada anak. Kita bertanggung
jawab terhadap arah perkembangan gender anak kita. Mengapa? Karena,
perkembangan gender anak pada awalnya terbentuk oleh konstruksi sosial
di sekitar anak.
Perlu diingat, inisiasi konstruksi sosial dimulai dari unit terkecil
masyarakat, yaitu keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki kewajiban
memperkenalkan, mengarahkan, dan membantu memantapkan identitas gender
anak (
gender identity) dan mengantarkan anak sukses melewati tahap
gender stability hingga tahap
gender constancy.
Jangan terlewatkan juga, anak terlahir dengan jenis kelamin sebagai perempuan atau laki-laki hal itu merupakan bawaan biologis (
nature). Sedangkan, atribut dan pembawaan yang menempel kepada seorang anak perempuan atau laki-laki tentang bagaimana ia bersikap .... ....
Untuk artikel selengkapnya silahkan kunjungi link di berikut ini
LGBT dan Perkembangan Gender Pada Anak
Artikel saya di atas telah ditayangkan oleh Republika.co.id pada hari Jum'at, 19 Februari 2016, Selamat membaca, semoga bermanfaat untuk Ayah dan Bunda semua.